Wednesday, December 24, 2008

Istri Berpenghasilan Lebih Besar dari Suami, Bermasalahkah?

Di era sekarang, banyak dijumpai kaum perempuan yang berkarier sejak mereka masih lajang hingga kemudian menikah dan memiliki anak. Bahkan tak jarang, di kemudian hari karier istri pun lebih cemerlang ketimbang suami. Ini berdampak pada penghasilan istri yang menjadi lebih besar dari suami. Benarkah jika penghasilan istri lebih tinggi akan selalu menimbulkan konflik?

Tina, 39 tahun, Kepala Cabang sebuah perusahaan perbankan terkemuka di Indonesia, misalnya. Penghasilannya jauh lebih besar dibanding suaminya yang bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan konsultan di Jakarta. Mulai dari cicilan rumah, mobil hingga keperluan rumah tangga dibayar oleh Tina. Sedangkan uang suami dipakai untuk belanja sehari-hari. Ketidakmampuan menghadapi "keunikan" ini membuat pernikahan mereka yang sudah berjalan selama sembilan tahun akhirnya kandas di tengah jalan.

Menurut Kasandra Putranto, Psikolog dari Kasandra Persona Prawacana, wajar saja jika ada posisi-posisi atau pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan untuk para istri sehingga punya penghasilan lebih besar. "Apalagi dengan karakteristik atau jenjang pendidikan tertentu yang sejak era Kartini memberikan kesempatan lebih besar bagi kaum perempuan untuk bisa bersekolah lebih tinggi," tutur ibu tiga anak ini. Ditambah pula dengan kualitas personal kaum perempuan yang lebih luwes, tak jarang menempatkan kaum perempuan pada posisi atau pekerjaan yang lebih baik. Kemajuan karier pada akhirnya memberikan penghasilan yang lebih baik pula. "Dari sisi agama barangkali perlu disikapi bahwa ini adalah takdir. Rezeki itu bisa datang lewat siapa saja, bisa suami atau istri, semua tergantung kesempatannya," tambahnya lagi.

Jadi, sebaiknya tak perlulah timbul masalah jika penghasilan suami lebih rendah dari istri. Justru kondisi ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk saling membantu meringankan biaya rumah tangga. Para suami jangan juga merasa minder. Sebaliknya, para istri pun jangan mentang-mentang. Akan lebih baik jika semuanya bersikap tetap rendah hati. Karena kalau istri mulai semena-mena, sikap itu tentu saja keliru dan bisa memancing timbulnya masalah. Artinya, terjadi penyimpangan bahwa ada pembolehan bagi yang berpenghasilan lebih besar untuk bersikap semena-mena terhadap pasangannya. Hindari sikap arogan seperti, istri menolak untuk melayani suami atau enggan menempatkan suami sebagai pemimpin keluarga. Mereka menganggap rumah tangga sebagai perusahaan, siapa yang modalnya banyak dialah pengambil keputusan mutlak.

Padahal rumah tangga bukanlah perseroan terbatas. Ibarat ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Semakin tinggi penghasilan, tidak berarti orang tersebut bisa bersikap semaunya atau bisa merendahkan orang lain, termasuk pasangan kita sendiri. Sayangnya, masih ada orang-orang yang menolak menerapkan ilmu tersebut. Ini adalah fenomena yang mulai banyak terjadi, di mana para istri yang punya power dalam hal keuangan, beranggapan adalah sah-sah saja merendahkan martabat suami. Demikian pula sebaliknya. Hanya saja, kalau terjadinya pada perempuan, situasinya jadi tidak dapat diterima mengingat kondisi budaya masyarakat Indonesia yang patriakal. "Istri melebihi suami saja sudah tidak sesuai dengan normal, apalagi kalau perilaku perempuan yang semakin melawan," Kasandra memaparkan lagi.

Kondisi-kondisi demikian justru bisa menjadi penyebab perceraian. Semakin banyak istri tidak puas dengan suami, semakin banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. "Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi dari pihak suami ke istri, tapi juga dari istri ke suami, termasuk pelecehan atau merendahkan suami," papar Kasandra menegaskan hal ini.

Adil & Seimbang

Perempuan bekerja dan berkarier bukan hanya sekadar menambah penghasilan rumah tangga saja, tapi sarana untuk mengaktualisasi diri. Jika perempuan, terutama mereka yang terbiasa beraktualisasi diri di lingkungan kerja dipaksa untuk tinggal di rumah, mengurus anak dan rumah, boleh jadi muncul ketidak bahagiaan dalam diri perempuan tersebut. Menurut Ratih Ibrahim, jika para istri tidak bahagia maka anak-anaknya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. "Akan seperti apa kualitas anak jika ibunya tidak bahagia? Generasi muda seperti apa yang bisa diharapkan?" tutur ibu dua anak yang juga seorang psikolog. Dengan kondisi istri yang tidak bahagia, aura negatif itu bakal tersiar ke rumah dan lingkungan. Sang suami pun akan menerima dampak dari aura tersebut. Akibatnya, suami ikut tidak bahagia. Aura tidak bahagia suami akan terlihat pula di lingkungan kerjanya, bahkan bisa saja sang istri ditinggalkan. "Padahal, istri bekerja adalah sebuah pengorbanan. Jika istri ditinggalkan suami, pengorbanan istri akan sia-sia!" paparnya lagi.

Karena itu, semua harus dibenahi. Tahap awal adalah pembenahan pola pikir tentang perempuan bekerja dan berkarir. Mengurus anak dan rumah merupakan tanggung jawab bersama. Bukan beban perempuan semata. Kendati bisa diwakilkan oleh pembantu dan pengasuh anak, supir atau tukang kebun, mendidik dan mengurus buah hati adalah tanggung jawab berdua. Jika suami mengakui ketidaksanggupannya mengurus anak dan rumah, setidaknya harus ada apresiasi kepada istri. "Pada saat si istri 'kedodoran' karena punya tanggung jawab di kantornya, jangan digencet dong, tapi di support," katanya dengan antusias. Jika ada dukungan dari suami terhadap karier istri, Ratih menyakini akan lebih banyak rumah tangga yang harmonis. Jika banyak rumah tangga yang harmonis, dipastikan kualitas generasi muda Indonesia akan lebih baik karena kualitas anak-anak -- baik anak laki-laki maupun anak perempuan-- akan tumbuh dalam suasana yang adil dan seimbang. Suasana adil dan seimbang muncul disebabkan adanya penghargaan antar jenis kelamin, antar gender yang tumbuh dalam keluarga.

Lain hal jika penghargaan antar jenis kelamin tidak ada dalam sebuah keluarga. Yang terjadi adalah pertengkaran dan pertengkaran. Pertengkaran bisa saja terjadi kendati suami dan istri sama-sama memiliki penghasilan yang seimbang. Pertengkaran menurut Ratih merupakan bentuk komunikasi dalam rumah tangga. "Kalau hubungannya beres, berantem lantaran beragumentasi bisa selesai dalam waktu singkat karena masing-masing tahu ada perbedaan. Bahkan urusan tempat tidur akan beres. Masing-masing harus menghargai satu sama lain," kata Ratih. Pertengkaran yang sehat hanya mungkin terjadi kalau posisi keduanya equal atau adil dan seimbang. Dengan posisi yang setara, maka masing-masing akan saling menghargai pasangannya karena berbeda dengan dirinya. Jika tidak equal, yang satu akan tertekan dan kesal dan akan jadi bom waktu yang sewaktu-waktu bakal meledak.

Menurut Ratih, masih ada beberapa orang yang keliru mengartikan posisi equal .Mereka beranggapan bahwa istri adalah bawahan suami, suami adalah majikan karena suami dianggap kepala rumah tangga. Ini berarti jika istri bergaji lebih tinggi dari suami, maka dia akan bersikap sama kepada suami. Suami menjadi lebih imperior dari istri. "Harusnya suami-istri harus saling menghormati satu sama lain. I respect you & I love you the way you are." Bagi Ratih, laki-laki dan perempuan perbedaannya hanya di alat kelamin saja. "Walau suami atau istri pendidikannya beda, kita tetap sama, sama-sama manusia." Dalam rumah tangga, posisi istri harus sejajar dengan suami. Dengan begitu, partnership antara suami dan istri akan muncul. Jika istri berpenghasilan lebih tinggi, ia harus tetap hormat dengan suami. Jadikan mengurus anak dan rumah sebagai tugas bersama. Kalau istri sedang sibuk bekerja, sedangkan suami tidak terlalu sibuk, tak ada salahnya menjaga, antar jemput anak atau memeriksa PR anak.

Bagaimana agar posisi suami-istri tetap equal? "Mudah," dengan cepat Ratih menjawab. Caranya, harus ada pengelolaan ego masing-masing. Agar pengelolaan ego bisa dilakukan dengan benar, pemahaman tentang laki-laki dan perempuan juga mesti benar. "Kalau masyarakat masih hidup di zaman batu dengan batasan yang masih sempit tentang laki-laki dan perempuan, maka tidak akan berkembang masyarakat kita," Ratih dengan tegas menjabarkan hal ini. Di era globalisasi yang menuntut masyarakat untuk lebih maju, maka yang terjadi adalah munculnya trend bisnis yang lebih mengarah ke business service. Menurut Ratih, servis bisnis justru dianggap lebih feminim karena lebih fleksibel. Tak heran jika pekerjaan business service lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan ketimbang laki-laki. "Jangan bicara ini sudah mau kiamat kalau kondisinya begitu." Tak ada salahnya jika masyarakat berpikir bahwa ini adalah sebuah perkembangan zaman. Tak ada salahnya juga laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah karena kebetulan ia berbisnis atau membuka usaha di dekat rumah. "Memangnya kalau laki-laki tinggal di rumah akan membuat mereka tidak laki-laki lagi?" imbuh Ratih balik bertanya.

Selamatkan perkawinan Anda

Di masa sekarang, bukan barang baru jika ditemukan situasi di mana karier istri lebih melesat dibanding suami. Cukup banyak istri berpenghasilan lebih besar namun mereka tidak ada masalah dan tidak menjadikan perbedaan penghasilan sebagai sumber konflik. Biasanya, mereka ini adalah orang-orang strata A yang memiliki pola berpikir lebih matang. Mereka pun biasanya berasal dari profesi yang berbeda. Bagaimana jika suami istri berprofesi sama? Memang, kecenderungan munculnya konflik bisa saja lebih besar. Untuk mengatasinya ada berbagai cara. Misalnya dengan membagi pengeluaran masing-masing.

Sebut saja Lia, 34 tahun. Seorang Direktur Keuangan di sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta. Suami Lia "hanya" berprofesi bekerja sebagai Manager Keuangan di perusahaan farmasi. Dari sisi pendidikan, mereka jelas sama. Namun dari sisi kesempatan, sang istri yang lebih luwes dan komunikatif justru karirnya lebih melesat. Keduanya mengaku tidak mempermasalahkan hal ini karena masing-masing sudah mempunyai tugas dan tanggung jawab. Urusan biaya sekolah, bayaran tagihan listrik dan telepon dilakukan oleh sang istri. Sementara suami, membeli keperluan sehari-hari. Mereka juga punya tabungan pendidikan anak bersama. Kelebihan gaji istri biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi istri seperti membeli perhiasan, baju, atau sepatu. Toh mereka oke-oke saja.

Menurut Perencana Keuangan Senduk Safir, tidak ada aturan ideal pembagian penghasilan suami-istri. ''Karakter setiap orang itu berbeda-beda, makanya pembagian penghasilan suami-istri harus berdasarkan kesepakatan mereka sendiri,'' lanjutnya. Tiap pasangan sebaiknya memutuskan bersama sesuai kondisi masing-masing. "Tak ada salahnya membahas secara detail," lanjut Safir. Misalnya, bila diperhitungkan pengeluaran rumah tangga per bulan dihitung-hitung sebesar Rp 5 juta, buatlah kesepakatan berapa persen yang dikeluarkan masing-masing pihak, bila keduanya bekerja. Atau, bisa pula bila istri membayar kebutuhan-kebutuhan besar seperti mencicil rumah atau membeli furniture, sementara suami membayar kebutuhan kecil seperti membayar listrik dan telepon tiap bulan serta kebutuhan sehari-hari.

Cara berikutnya adalah dengan meminta saran atau pendapat kepada pihak-pihak yang bisa mendamaikan atau pihak ketiga seperti pemuka agama dan penasihat perkawinan. Jangan sekali-kali meminta pendapat kepada keluarga atau teman dekat. "Teman dekat, tetangga, keluarga atau saudara justru bisa memperkeruh suasana sehingga masalahnya tidak akan selesai," imbuh Kasandra. Di samping itu, masalah penghasilan termasuk masalah sensitif dan tidak etis diceritakan kepada pihak luar.

Yang perlu diingat adalah itikad kedua belah pihak. Jika suami istri memang tidak berharap rumah tangga tetap utuh, wajar saja jika perceraian terjadi. Menurut Kasandra, dibutuhkan dua orang untuk menghancurkan perkawinan. It's take two to destroyed the married. "Tapi, hanya dibutuhkan satu orang untuk menyelamatkan perkawinan," ujarnya. Artinya, jika satu orang sudah berniat untuk memperbaiki dan mempertahankan perkawinan, maka akan dimudahkan jalannya sehingga perselisihan bisa segera diatasi.

Hal lain yaitu yakinkan diri bahwa finansial bukan segala-galanya. Masih ada hal lain yang tak kalah penting yaitu kebaikan suami, kehadiran anak dan sebagainya. "Kita harus ingat, pertama kali menikah, tentu ada perjanjiannya tertulis mau menerima atau tidak dalam keadaan senang atau susah. Kok ketika pasangan kita lagi susah, tidak mau terima lagi," ucap Kasandra. Yakinkan pula bahwa pasangan kita nantinya akan bisa berpenghasilan lebih baik.

Atau jika memungkinkan, suami bisa mencari penghasilan tambahan dengan mencoba berbisnis atau membuka usaha kecil-kecilan, seperti membuka kios tanaman, toko kelontong, atau usaha lainnya. ''Kalau kondisinya memungkinkan, tidak ada salahnya suami mencari tambahan di luar," papar Safir mengakhiri perbincangan. RATRI

Tidak bisa dipungkiri jika istri bergaji lebih tinggi dari suami terkadang bisa menimbulkan konflik. Namun, ada sedikit tips untuk Anda agar masalah tersebut bisa dihindari:

TIPS

1. Ubah pola pikir. Selama ini pola pikir yang ada di kalangan masyarakat cenderung menempatkan kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Otomatis suami dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Sementara istri adalah ibu rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap urusan rumah dan pengasuhan anak. Padahal, urusan rumah dan anak adalah milik bersama. Demikian pula dengan tanggung jawab kelangsungan rumah tangga adalah milik bersama.

2. Berbagi tugas dan tanggung jawab. Istri berkarier cemerlang berarti tuntutan tanggung jawab di kantor juga akan lebih besar. Konsekuensinya, waktu untuk keluarga akan berkurang. Tak ada salahnya jika suami ikut membantu urusan rumah tangga dan anak. Misalnya mengantarkan anak sekolah, atau menemani anak mengerjakan PR.

3. Anggaplah sebagai ujian. Karier istri yang lebih cemerlang dari suami, tak jarang menimbulkan komentar miring -- yang bisa menyakiti Anda dan pasangan -- dari lingkungan, baik keluarga, tetangga maupun lingkungan pekerjaan. Apalagi bila suami lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Jangan pedulikan komentar-komentar yang menganggap apa yang Anda jalani bertentangan dengan tradisi atau budaya. Anggap ini ujian agar ikatan pernikahan menjadi lebih kuat.

4. Atur keuangan keluarga. Permasalahan terkadang muncul ketika istri bergaji lebih tinggi dari suami. Istri menganggap punya kuasa lebih dalam pengaturan keuangan karena ia bergaji lebih besar dari suami. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya setiap pasangan membuat pengaturan keuangan secara rinci. Misalnya, kebutuhan rumah tangga sehari-hari diambil dari kantong suami, pembayaran uang sekolah anak dari kocek istri, tabungan pendidikan dari kocek bersama.

5. Pandai menempatkan diri. Meski karier istri lebih sukses dari suami, bukan berarti ketika istri pulang ke rumah ia boleh melupakan perannya sebagai istri. Demikian pula dengan suami. Ketika ada acara di kantor istri, suami pun harus bisa menempatkan diri sebagai suami dari istri yang memiliki posisi atau jabatan tinggi.

0 comments:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger