Wednesday, December 24, 2008

Istri Berpenghasilan Lebih Besar dari Suami, Bermasalahkah?

Di era sekarang, banyak dijumpai kaum perempuan yang berkarier sejak mereka masih lajang hingga kemudian menikah dan memiliki anak. Bahkan tak jarang, di kemudian hari karier istri pun lebih cemerlang ketimbang suami. Ini berdampak pada penghasilan istri yang menjadi lebih besar dari suami. Benarkah jika penghasilan istri lebih tinggi akan selalu menimbulkan konflik?

Tina, 39 tahun, Kepala Cabang sebuah perusahaan perbankan terkemuka di Indonesia, misalnya. Penghasilannya jauh lebih besar dibanding suaminya yang bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan konsultan di Jakarta. Mulai dari cicilan rumah, mobil hingga keperluan rumah tangga dibayar oleh Tina. Sedangkan uang suami dipakai untuk belanja sehari-hari. Ketidakmampuan menghadapi "keunikan" ini membuat pernikahan mereka yang sudah berjalan selama sembilan tahun akhirnya kandas di tengah jalan.

Menurut Kasandra Putranto, Psikolog dari Kasandra Persona Prawacana, wajar saja jika ada posisi-posisi atau pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan untuk para istri sehingga punya penghasilan lebih besar. "Apalagi dengan karakteristik atau jenjang pendidikan tertentu yang sejak era Kartini memberikan kesempatan lebih besar bagi kaum perempuan untuk bisa bersekolah lebih tinggi," tutur ibu tiga anak ini. Ditambah pula dengan kualitas personal kaum perempuan yang lebih luwes, tak jarang menempatkan kaum perempuan pada posisi atau pekerjaan yang lebih baik. Kemajuan karier pada akhirnya memberikan penghasilan yang lebih baik pula. "Dari sisi agama barangkali perlu disikapi bahwa ini adalah takdir. Rezeki itu bisa datang lewat siapa saja, bisa suami atau istri, semua tergantung kesempatannya," tambahnya lagi.

Jadi, sebaiknya tak perlulah timbul masalah jika penghasilan suami lebih rendah dari istri. Justru kondisi ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk saling membantu meringankan biaya rumah tangga. Para suami jangan juga merasa minder. Sebaliknya, para istri pun jangan mentang-mentang. Akan lebih baik jika semuanya bersikap tetap rendah hati. Karena kalau istri mulai semena-mena, sikap itu tentu saja keliru dan bisa memancing timbulnya masalah. Artinya, terjadi penyimpangan bahwa ada pembolehan bagi yang berpenghasilan lebih besar untuk bersikap semena-mena terhadap pasangannya. Hindari sikap arogan seperti, istri menolak untuk melayani suami atau enggan menempatkan suami sebagai pemimpin keluarga. Mereka menganggap rumah tangga sebagai perusahaan, siapa yang modalnya banyak dialah pengambil keputusan mutlak.

Padahal rumah tangga bukanlah perseroan terbatas. Ibarat ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Semakin tinggi penghasilan, tidak berarti orang tersebut bisa bersikap semaunya atau bisa merendahkan orang lain, termasuk pasangan kita sendiri. Sayangnya, masih ada orang-orang yang menolak menerapkan ilmu tersebut. Ini adalah fenomena yang mulai banyak terjadi, di mana para istri yang punya power dalam hal keuangan, beranggapan adalah sah-sah saja merendahkan martabat suami. Demikian pula sebaliknya. Hanya saja, kalau terjadinya pada perempuan, situasinya jadi tidak dapat diterima mengingat kondisi budaya masyarakat Indonesia yang patriakal. "Istri melebihi suami saja sudah tidak sesuai dengan normal, apalagi kalau perilaku perempuan yang semakin melawan," Kasandra memaparkan lagi.

Kondisi-kondisi demikian justru bisa menjadi penyebab perceraian. Semakin banyak istri tidak puas dengan suami, semakin banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. "Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi dari pihak suami ke istri, tapi juga dari istri ke suami, termasuk pelecehan atau merendahkan suami," papar Kasandra menegaskan hal ini.

Adil & Seimbang

Perempuan bekerja dan berkarier bukan hanya sekadar menambah penghasilan rumah tangga saja, tapi sarana untuk mengaktualisasi diri. Jika perempuan, terutama mereka yang terbiasa beraktualisasi diri di lingkungan kerja dipaksa untuk tinggal di rumah, mengurus anak dan rumah, boleh jadi muncul ketidak bahagiaan dalam diri perempuan tersebut. Menurut Ratih Ibrahim, jika para istri tidak bahagia maka anak-anaknya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. "Akan seperti apa kualitas anak jika ibunya tidak bahagia? Generasi muda seperti apa yang bisa diharapkan?" tutur ibu dua anak yang juga seorang psikolog. Dengan kondisi istri yang tidak bahagia, aura negatif itu bakal tersiar ke rumah dan lingkungan. Sang suami pun akan menerima dampak dari aura tersebut. Akibatnya, suami ikut tidak bahagia. Aura tidak bahagia suami akan terlihat pula di lingkungan kerjanya, bahkan bisa saja sang istri ditinggalkan. "Padahal, istri bekerja adalah sebuah pengorbanan. Jika istri ditinggalkan suami, pengorbanan istri akan sia-sia!" paparnya lagi.

Karena itu, semua harus dibenahi. Tahap awal adalah pembenahan pola pikir tentang perempuan bekerja dan berkarir. Mengurus anak dan rumah merupakan tanggung jawab bersama. Bukan beban perempuan semata. Kendati bisa diwakilkan oleh pembantu dan pengasuh anak, supir atau tukang kebun, mendidik dan mengurus buah hati adalah tanggung jawab berdua. Jika suami mengakui ketidaksanggupannya mengurus anak dan rumah, setidaknya harus ada apresiasi kepada istri. "Pada saat si istri 'kedodoran' karena punya tanggung jawab di kantornya, jangan digencet dong, tapi di support," katanya dengan antusias. Jika ada dukungan dari suami terhadap karier istri, Ratih menyakini akan lebih banyak rumah tangga yang harmonis. Jika banyak rumah tangga yang harmonis, dipastikan kualitas generasi muda Indonesia akan lebih baik karena kualitas anak-anak -- baik anak laki-laki maupun anak perempuan-- akan tumbuh dalam suasana yang adil dan seimbang. Suasana adil dan seimbang muncul disebabkan adanya penghargaan antar jenis kelamin, antar gender yang tumbuh dalam keluarga.

Lain hal jika penghargaan antar jenis kelamin tidak ada dalam sebuah keluarga. Yang terjadi adalah pertengkaran dan pertengkaran. Pertengkaran bisa saja terjadi kendati suami dan istri sama-sama memiliki penghasilan yang seimbang. Pertengkaran menurut Ratih merupakan bentuk komunikasi dalam rumah tangga. "Kalau hubungannya beres, berantem lantaran beragumentasi bisa selesai dalam waktu singkat karena masing-masing tahu ada perbedaan. Bahkan urusan tempat tidur akan beres. Masing-masing harus menghargai satu sama lain," kata Ratih. Pertengkaran yang sehat hanya mungkin terjadi kalau posisi keduanya equal atau adil dan seimbang. Dengan posisi yang setara, maka masing-masing akan saling menghargai pasangannya karena berbeda dengan dirinya. Jika tidak equal, yang satu akan tertekan dan kesal dan akan jadi bom waktu yang sewaktu-waktu bakal meledak.

Menurut Ratih, masih ada beberapa orang yang keliru mengartikan posisi equal .Mereka beranggapan bahwa istri adalah bawahan suami, suami adalah majikan karena suami dianggap kepala rumah tangga. Ini berarti jika istri bergaji lebih tinggi dari suami, maka dia akan bersikap sama kepada suami. Suami menjadi lebih imperior dari istri. "Harusnya suami-istri harus saling menghormati satu sama lain. I respect you & I love you the way you are." Bagi Ratih, laki-laki dan perempuan perbedaannya hanya di alat kelamin saja. "Walau suami atau istri pendidikannya beda, kita tetap sama, sama-sama manusia." Dalam rumah tangga, posisi istri harus sejajar dengan suami. Dengan begitu, partnership antara suami dan istri akan muncul. Jika istri berpenghasilan lebih tinggi, ia harus tetap hormat dengan suami. Jadikan mengurus anak dan rumah sebagai tugas bersama. Kalau istri sedang sibuk bekerja, sedangkan suami tidak terlalu sibuk, tak ada salahnya menjaga, antar jemput anak atau memeriksa PR anak.

Bagaimana agar posisi suami-istri tetap equal? "Mudah," dengan cepat Ratih menjawab. Caranya, harus ada pengelolaan ego masing-masing. Agar pengelolaan ego bisa dilakukan dengan benar, pemahaman tentang laki-laki dan perempuan juga mesti benar. "Kalau masyarakat masih hidup di zaman batu dengan batasan yang masih sempit tentang laki-laki dan perempuan, maka tidak akan berkembang masyarakat kita," Ratih dengan tegas menjabarkan hal ini. Di era globalisasi yang menuntut masyarakat untuk lebih maju, maka yang terjadi adalah munculnya trend bisnis yang lebih mengarah ke business service. Menurut Ratih, servis bisnis justru dianggap lebih feminim karena lebih fleksibel. Tak heran jika pekerjaan business service lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan ketimbang laki-laki. "Jangan bicara ini sudah mau kiamat kalau kondisinya begitu." Tak ada salahnya jika masyarakat berpikir bahwa ini adalah sebuah perkembangan zaman. Tak ada salahnya juga laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah karena kebetulan ia berbisnis atau membuka usaha di dekat rumah. "Memangnya kalau laki-laki tinggal di rumah akan membuat mereka tidak laki-laki lagi?" imbuh Ratih balik bertanya.

Selamatkan perkawinan Anda

Di masa sekarang, bukan barang baru jika ditemukan situasi di mana karier istri lebih melesat dibanding suami. Cukup banyak istri berpenghasilan lebih besar namun mereka tidak ada masalah dan tidak menjadikan perbedaan penghasilan sebagai sumber konflik. Biasanya, mereka ini adalah orang-orang strata A yang memiliki pola berpikir lebih matang. Mereka pun biasanya berasal dari profesi yang berbeda. Bagaimana jika suami istri berprofesi sama? Memang, kecenderungan munculnya konflik bisa saja lebih besar. Untuk mengatasinya ada berbagai cara. Misalnya dengan membagi pengeluaran masing-masing.

Sebut saja Lia, 34 tahun. Seorang Direktur Keuangan di sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta. Suami Lia "hanya" berprofesi bekerja sebagai Manager Keuangan di perusahaan farmasi. Dari sisi pendidikan, mereka jelas sama. Namun dari sisi kesempatan, sang istri yang lebih luwes dan komunikatif justru karirnya lebih melesat. Keduanya mengaku tidak mempermasalahkan hal ini karena masing-masing sudah mempunyai tugas dan tanggung jawab. Urusan biaya sekolah, bayaran tagihan listrik dan telepon dilakukan oleh sang istri. Sementara suami, membeli keperluan sehari-hari. Mereka juga punya tabungan pendidikan anak bersama. Kelebihan gaji istri biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi istri seperti membeli perhiasan, baju, atau sepatu. Toh mereka oke-oke saja.

Menurut Perencana Keuangan Senduk Safir, tidak ada aturan ideal pembagian penghasilan suami-istri. ''Karakter setiap orang itu berbeda-beda, makanya pembagian penghasilan suami-istri harus berdasarkan kesepakatan mereka sendiri,'' lanjutnya. Tiap pasangan sebaiknya memutuskan bersama sesuai kondisi masing-masing. "Tak ada salahnya membahas secara detail," lanjut Safir. Misalnya, bila diperhitungkan pengeluaran rumah tangga per bulan dihitung-hitung sebesar Rp 5 juta, buatlah kesepakatan berapa persen yang dikeluarkan masing-masing pihak, bila keduanya bekerja. Atau, bisa pula bila istri membayar kebutuhan-kebutuhan besar seperti mencicil rumah atau membeli furniture, sementara suami membayar kebutuhan kecil seperti membayar listrik dan telepon tiap bulan serta kebutuhan sehari-hari.

Cara berikutnya adalah dengan meminta saran atau pendapat kepada pihak-pihak yang bisa mendamaikan atau pihak ketiga seperti pemuka agama dan penasihat perkawinan. Jangan sekali-kali meminta pendapat kepada keluarga atau teman dekat. "Teman dekat, tetangga, keluarga atau saudara justru bisa memperkeruh suasana sehingga masalahnya tidak akan selesai," imbuh Kasandra. Di samping itu, masalah penghasilan termasuk masalah sensitif dan tidak etis diceritakan kepada pihak luar.

Yang perlu diingat adalah itikad kedua belah pihak. Jika suami istri memang tidak berharap rumah tangga tetap utuh, wajar saja jika perceraian terjadi. Menurut Kasandra, dibutuhkan dua orang untuk menghancurkan perkawinan. It's take two to destroyed the married. "Tapi, hanya dibutuhkan satu orang untuk menyelamatkan perkawinan," ujarnya. Artinya, jika satu orang sudah berniat untuk memperbaiki dan mempertahankan perkawinan, maka akan dimudahkan jalannya sehingga perselisihan bisa segera diatasi.

Hal lain yaitu yakinkan diri bahwa finansial bukan segala-galanya. Masih ada hal lain yang tak kalah penting yaitu kebaikan suami, kehadiran anak dan sebagainya. "Kita harus ingat, pertama kali menikah, tentu ada perjanjiannya tertulis mau menerima atau tidak dalam keadaan senang atau susah. Kok ketika pasangan kita lagi susah, tidak mau terima lagi," ucap Kasandra. Yakinkan pula bahwa pasangan kita nantinya akan bisa berpenghasilan lebih baik.

Atau jika memungkinkan, suami bisa mencari penghasilan tambahan dengan mencoba berbisnis atau membuka usaha kecil-kecilan, seperti membuka kios tanaman, toko kelontong, atau usaha lainnya. ''Kalau kondisinya memungkinkan, tidak ada salahnya suami mencari tambahan di luar," papar Safir mengakhiri perbincangan. RATRI

Tidak bisa dipungkiri jika istri bergaji lebih tinggi dari suami terkadang bisa menimbulkan konflik. Namun, ada sedikit tips untuk Anda agar masalah tersebut bisa dihindari:

TIPS

1. Ubah pola pikir. Selama ini pola pikir yang ada di kalangan masyarakat cenderung menempatkan kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Otomatis suami dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Sementara istri adalah ibu rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap urusan rumah dan pengasuhan anak. Padahal, urusan rumah dan anak adalah milik bersama. Demikian pula dengan tanggung jawab kelangsungan rumah tangga adalah milik bersama.

2. Berbagi tugas dan tanggung jawab. Istri berkarier cemerlang berarti tuntutan tanggung jawab di kantor juga akan lebih besar. Konsekuensinya, waktu untuk keluarga akan berkurang. Tak ada salahnya jika suami ikut membantu urusan rumah tangga dan anak. Misalnya mengantarkan anak sekolah, atau menemani anak mengerjakan PR.

3. Anggaplah sebagai ujian. Karier istri yang lebih cemerlang dari suami, tak jarang menimbulkan komentar miring -- yang bisa menyakiti Anda dan pasangan -- dari lingkungan, baik keluarga, tetangga maupun lingkungan pekerjaan. Apalagi bila suami lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Jangan pedulikan komentar-komentar yang menganggap apa yang Anda jalani bertentangan dengan tradisi atau budaya. Anggap ini ujian agar ikatan pernikahan menjadi lebih kuat.

4. Atur keuangan keluarga. Permasalahan terkadang muncul ketika istri bergaji lebih tinggi dari suami. Istri menganggap punya kuasa lebih dalam pengaturan keuangan karena ia bergaji lebih besar dari suami. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya setiap pasangan membuat pengaturan keuangan secara rinci. Misalnya, kebutuhan rumah tangga sehari-hari diambil dari kantong suami, pembayaran uang sekolah anak dari kocek istri, tabungan pendidikan dari kocek bersama.

5. Pandai menempatkan diri. Meski karier istri lebih sukses dari suami, bukan berarti ketika istri pulang ke rumah ia boleh melupakan perannya sebagai istri. Demikian pula dengan suami. Ketika ada acara di kantor istri, suami pun harus bisa menempatkan diri sebagai suami dari istri yang memiliki posisi atau jabatan tinggi. Selengkapnya...

Mengapa karyawan PINDAH ???

WHY TO MOVE
Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul Azim Premji, "Bill Gates" dari India (terbitan Mizania 2007).
Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap Wipro, dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan dengan salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon kebangkitan industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21 orang terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner yang bergaya hidup sederhana.
Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak betah dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over (kepindahan) karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS.
Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan?
Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini.
Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer software senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius untuk bekerja di cabang operasinya di India sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO perusahaan ini, pria karismatik yang sering dikutip di berita-berita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat.
Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru", katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat dengan teknologi mutakhir. Ternyata, kurang dari delapan bulan setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi. Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini.
Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong banyak orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization. Penelitian ini menyurvei lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules.
Penemuannya adalah sebagai berikut:
Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah atasan langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun, dia adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan perusahaan, tulis Marcus Buckingham dan Curt Hoffman penulis buku First Break All the Rules.
Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih dahulu. Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi, kebutuhan utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini bergantung langsung dengan manajer di atasnya.
Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang bagus. Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan yang sulit.
Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat yang kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya, dia mulai mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang krusial kepada sang bos.
Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti - biasanya karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari puluhan orang seperti kamu.
Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja, kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan.
Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun atasan) ?

(sumber : email dari seorang sahabat) Selengkapnya...

Monday, December 15, 2008

U N D A N G A N


Sabtu ini gw menerima undangan ungu muda. Undangan dari teman terbaik gw sejak duduk di bangku SMP, Indah. 16 Tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal sosoknya. Ada rasa kehilangan saat menerimanya, walau berita ini sudah beberapa bulan sebelumnya ia ceritakan.

Teringat kebersamaan yang selama ini dirajut. Kenangan waktu ngerjain orang, tertawa, menangis, bersenda gurau.... Ah...satu-satunya teman terbaik diantara orang-orang yang selama ini dekat dengan gw.


Janji untuk tidak berubah, tetap ada untuk gw dan akan selalu hadir untuk hari-hari istimewa yang biasa kita rayakan bersama. Sedikit pesimis sie mendengarnya, teringat akan geng SMU gw yang saat ini menghilang dari peredaran seiring dengan kesibukannyanya pada keluarga dan karir mereka. Biarlah hembusan angin malam menjadi saksi dan waktu yang akan menjawab semuanya.

Masih satu minggu lagi hari besar itu terlaksana, tapi kado spesial untuk sang sahabat sudah gw siapkan satu bulan sebelumnya.

Bahagia untuk mu menjadi bahagia untuk ku juga.
Selamat menempuh hidup baru sahabat.

Monday, 151208

Selengkapnya...

SIAL YANG KETIGA

Sejak 8 tahun terakhir naik kereta pulang pergi Depok – Jakarta, ini kesialan ketiga buat gw. Gw jatuh dari tangga di stasun. Untungnya saat itu sedang bareng sama Herman-Anker juga (Anak Kereta-red). Walau sempet pegangan tapi tetap aja jatuh. Kaki dan tangan kayaknya keseleo nih. Tapi saat itu yang nomor satu adalah MALU. Ih bener-bener deh ga enak banget diliatin sama orang banyak.

Saat itu hujan gerimis dari semalam, akhirnya berangkat ke kantor pake sendal jepit. Dari rumah si jalan udah hati-hati banget. Eh ternyata tetap aja kepeleset. Kayaknya sendalnya yg licin deh. Sumpah sakit banget punggung kaki dan pergelangan tangannya.

Gw cuma olesin minyak kayu putih aja sie (karena itu yang ada ditas). 2 minggu berlalu, sakit yang dipergelangan tangan sie udah hilang, tapi yang dikaki masih sakit banget. Terus ditambah lagi hari jumat jalan-jalan mangga dua square untuk cari hiasan ruangan dikantor, tambah makin bengkak aja nie. Akhirnya malam pulang kerja minta dianter sama cowok gw ke ke tukang urut.

Ternyata dibawanya ke Pak Haji yang suka ngobati orang-orang yang patah tulang (cimande) di daerah lenteng agung. Tadi udah agak males karena udah malam banget jam 8, takutnya udah tutup. Eh ternyata masih buka, dan katanya ga pernah tutup tuh (masa sie?). Banyak orang-orang yang pakai tongkat disana. Terus katanya ada juga yang nginap klo sakitnya udah parah. Setelah nunggu giliran, akhirnya diurut juga sama Pak hajinya. Katanya ada yang retak. Wah kayak denger pertir disiang bolong, kaget banget. Terus digips deh sama Pak Hajinya dan disuruh pantang makannya dan datang 2 hari lagi.

Waduh mana belum makan lagi...:(. Akhirnya malam itu cuma makan sama nasi dan kuah sayur asem. Abis kata cowok gw nyebutin banyak banget yang dipantang daging sapi, kambing, ikan ayam, sambal, santan, coklat, es, teh, dlll. Aduhhhhhh.... :(. Udah gitu ga boleh kena air pula, makin repot deh jadinya.

Berhubung hari seninnya libur, maka baru bisa dateng lagi hari selasa. Kirain sie gipsnya udah boleh dilepas, eh ga taunya diganti yang baru. Tapi udah agak baikin udah bisa ditekuk-tekuk kakinya. Cuma untuk bagian yang memar kemarin masih terasa sakit. Tapi ternyata boleh agak senang nie karena ternyata yang ga boleh cuma daging kambing, ayam , ikan laut, sambal, es, teh, kopi, mie (hanya indomie rasa soto yg boleh), coklat. Ga pa-pa yg penting bisa nyobain ketupat nie, abis lebaran kemarin cuma makan tahu tempe doank.

Jumat ini harus dateng lagi, kayaknya udah jauh lebih baik. Tapi waktu sampe sana, ternyata Pak Hajinya lagi ratiban (klo ga salah tulis). Nunggu alma deh.., ya sudahlah pulang saja akhirnya. Setelah dirasa-rasa dan ditimbang-timbang maka gw buka aja gipsnya sendiri.

Ah...leganya kaki gw bisa bernapas setelah 1 minggu lebih digips. Enak banget bisa kena air....
Terus sabtunya gw test jalan yang lumayan jauh ke rumahnya Widia, sekalian ngasih kado untuk anaknya yang baru lahir. He..he..he.. senengnya ternyata kaki gw sdh kuat seperti sedia kala, yesss...!!!!

Oh ya kalo ada yang mau coba kesana juga boleh kok, alamatnya di Jl. Langgar 3 Rt.04 Rw.03 No.22, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kalo dari stasiun kereta Lenteng Agung, naik ojek motor terus bilang aja Jalan Langgar 3. Tarifnya terserah, sukarela yang penting ikhlas ....(jadi ga ditentuin sama Pak hajinya), Gw sih kemarin sekali dateng ngasih 30ribu.

Selamat mencoba ......

Monday, 151208
Selengkapnya...

Friday, December 12, 2008

Arti Kehidupan “Doel Sumbang”

Jangan berkata tidak
Bila kau jatuh cinta
Terus terang sajalah buat apa berdusta
Cinta itu anugrah
maka berbahagialah
Sebab Kita sengsara bila tak punya cinta
Rintangan pasti datang menghadang
Cobaan pasti datang menghujam
Namun yakinlah bahwa cinta itu kan membuatmu
Mengerti akan arti kehidupan
Marilah sayang
Mari sirami
Cinta yang tumbuh di dalam diri
Marilah sayang
Mari sirami
Agar merekah sepanjang hari
Selengkapnya...

PRODIA - season 3



Sabtu ini jadwal untuk ngambil hasil cek-up di Prodia. Harap-harap cemas nie :P . Sampai di Prodia lansung bilang sama petugasnya mau ambil hasil cek-up. Terus diminta kwitansinya, dicek dan diserahkan hasilnya. “Mba saya mau konsultasi dulu sama dokternya”, “Oh...tunggu ya, soalnya masih ada pasien” “Lama ya?”. “Kira-kira 40menit”. “Hmmm. Ya udah deh, saya tunggu”.”Baik, hasilnya saya pegang dulu ya”, kata petugasnya.
Sambil nunggu gw baca-baca majalah kesehatan yang memang disediakan di ruang tunggu tersebut.

Menit berlalu, akhirnya dipanggil juga nama gw. Bergegas ke ruang dokter, terus dijelaskan hasil cek-up gw. Ternyata hasilnya sangat memuaskan. NORMAL. Pulanglah gw dengan hari riang gembira, karena yang selama ini gw khawatirkan ternyata salah :P

Friday, 121208
Selengkapnya...


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and BMW Cars. Powered by Blogger